Secrets travel fast in Paris (Napoleon Bonaparte)
Sebagian besar orang yang saya kenal memasukkan Paris ke dalam bucket list jalan-jalannya. Paris, ibukota Perancis, acapkali disebut sebagai kota yang romantis.
Beberapa teman saya juga ke sana untuk membuat foto pre-wedding. Paris, sepertinya belum sah mengunjungi Eropa jika belum mengunjunginya. Dan Paris, seolah menjadi bagian dari gaya hidup premium 🙂
Saya mungkin segelintir orang yang tidak terlalu tergila-gila dengan kota yang menjadi markas klub sepakbola Paris Saint Germain (PSG) ini. Tapi ini tak berarti saya tidak bisa mengapresiasinya. Paris cantik sekali. Segala sesuatunya terlihat seperti diatur sedemikian rupa sehingga berada pada tempat dan susunan yang tepat dan terharmonisasi dengan baik antara yang satu dengan yang lain. Di satu sisi ada peninggalan dari masa Napoleon dan di sini lain ada peninggalan dari zaman revolusi. Kemajuan arsitektur modern juga ikut menghiasi Paris. Menara Eifel, Museum Louvre, Notre Dame de Paris Arc de Triomphe adalah segelintir dari destinasi wisata para turis yang berkunjung ke Paris.
Namun kali ini, saya akan membahas tentang Masjid Agung Paris.
Salah satu masjid terbesar di Eropa ini dibangun pada tahun 1926 dengan gaya Moorish, gaya aristektur yang dimilki oleh kaum Muslim Spanyol yang bisa ditemukan pada peninggaan Islam di Spanyol, seperti Alhamra. Gaya yang sama juga ditemui pada masjid-masjid di Afrika Utara. Konon, karpet yang terhampar di ruangan shalat utama dihadiahkan oleh Shah Reza Pahlavi dari Iran.
Masjid ini dibangun oleh pemerintah Perancis sebagai balas jasa kepada kaum Muslim (yang berasal dari jajahan Perancis di Aljazair) yang sudah ikut berperang bersama Perancis untuk menghadapi Jerman pada Perang Dunia I. Pada Perang Dunia II, masjid ini diberitakan pernah menyelamatkan kaum Yahudi dari kejaran Nazi.
Selain tempat shalat, Masjid Agung Paris juga dilengkapi dengan madrasah, perpustakaan, taman, hammam dan café dengan menu Afrika Utara. Saya tidak sempat makan di café-nya karena pengunjungnya terlalu ramai ketika itu dan saya sudah terlalu lapar untuk menunggu. Akhirnya saya mencari makan di sekitar masjid yang mayoritas dihuni oleh kaum Muslim.
Saya sendiri sudah mengetahui masjid ini sejak lama, namun baru mempunyai keinginan untuk mengunjunginya setelah melihat film Paris Je t’aime untuk bagian Quais de Seine, yang menceritakan persahabatan dua anak muda (Zarkha dan Francois) yang berbeda latar belakang. Masjid ini juga menjadi setting film Les Hommes libre, yang dibintangi oleh Tahar Rahim, yang menceritakan peran kaum Muslim Paris untuk menyelamatkan kaum Yahudi, dengan cara memalsukan identitasnya.
Tak jauh dari Masjid Agung Paris, terdapat Institut du Monde Arabe (Arab World Institute) yang menjadi pusat informasi dunia Arab. Tiket masuk diberlakukan dan bisa dibeli langsung di tempat. Institut yang didirikan pada tahun 1980 ini bertujuan untuk menjembatani dunia Arab dan Eropa. Institut ini memiliki sebuah museum yang memperlihatkan perkembangan dunia Arab dari masa sebelum Islam, pada masa Islam dan masa sekarang. Sayang sekali, pengunjung tidak diperbolehkan mengambil foto pada waktu itu sehingga saya tidak mempunyai dokumentasinya. Selain museum, institute ini dilengkapi dengan toko buku, toko musik, dan perpustakaan.
Tips
- Jika ingin shalat di masjid, sebaiknya membawa mukena sendiri. Pada waktu saya kesana, ada beberapa djellaba (baju jubah ala Afrika Utara) disediakan oleh pengurus masjid, namun sudah terpakai semua.
- Jika ingin menikmati keindahan masjid dengan lebih leluasa, sebaiknya dating di luar waktu shalat.
- Ada yang bilang bahwa dikenakan biaya masuk untuk masuk ke dalam kompleks masjid ini, bahkan untuk individu tanpa guide. Entah kenapa, saya dipersilahkan masuk begitu saja ketika itu 🙂
Info lebih lanjut:
http://en.parisinfo.com/paris-museum-monument/71185/Grande-Mosquee-de-Paris
Wah, beruntung ya bisa masuk gratis
LikeLike
Iya, alhamdulillah 😊
LikeLike