Ereveld Menteng Pulo


Adakah pemakaman yg jauh dari kesan angker?

Ada! Ereveld Menteng Pulo pastilah salah satunya.

Secara harfiah, Ereveld berarti ‘Lapangan Kehormatan’, bukan pemakaman. Pemakaman dalam bahasa Belanda adalah ‘begraafplaats’. Ereveld merupakan pemakaman untuk korban kamp tawanan Jepang dan tentara KNIL yg tewas pada masa perang kemerdekaan Indonesia dalam rentang 1945-1949. Ereveld diresmikan oleh Letjend Simon Spoor tahun 1947, dan siapa nyana Spoor sendiri dikuburkan di sana 2 tahun kemudian.

Ahli kubur Ereveld berasal dari latar belakang asal, agama, jenis kelamin dan umur yang beraneka ragam. Selain perbedaan bentuk nisan (berdasarkan agama) dan ukuran – nisan anak-anak berukuran kecil, Ereveld sangat egaliter. Tak ada kelompok orang penting dan serdadu biasa. Semua sama. Yang Muslim memang punya blok sendiri karena posisi ahli kubur harus menghadap kiblat, biar rapi aja gitu.

Selain pemakaman, Ereveld dilengkapi dengan Gereja Simultaan (yang menaranya diberi simbol 4 agama), rumah abu dan beberapa tugu peringatan.

Butuh uang banyak dong buat perawatan Ereveld?! Tentu, tapi semuanya dibiayai oleh Kerajaan Belanda. Dan 2 kali setahun, ada upacara peringatan di Ereveld yang biasanya dihadiri oleh anggota keluarga pemilik makam.

Terima kasih kepada Jakarta Good Guide atas segala ceritanya!

Monumen Nasional, Jakarta


Pertama kali saya masuk ke Monas adalah waktu kelas 1 SMP bersama keluarga. Itu juga kali pertama menginjakkan kaki di ibukota. Untuk sampai ke Jakarta, kami naik bus AC NPM, dengan seat 3-3, dilengkapi toilet. Waktu itu, kami bersyukur sekali sudah sampai ke Jakarta. Kami menginap di rumah sepupu Papa di kawasan Sunter. Untuk keliling Jakarta, kami naik bis kota, termasuk yang bertingkat. Sekarang, bis kota ini sudah tidak ada lagi di Jakarta. Saya masih ingat betapa repotnya Papa menjaga beberapa anak kecil untuk naik dan turun bis kota.

Kali kedua masuk Monas adalah bersama teman-teman kuliah sehabis syuting Kuis Siapa Berani di Indosiar. Sebenarnya, kami hanya main-main dan berfoto-foto di Lapangan Monas. Tapi tetap saja itu menjadi memori yang menyenangkan. Tim kami berhasil lolos ke babak bonus walaupun belum berhasil meraih hadiah utama. Jam tangan Alexander Cristie-nya masih awet loh sampai sekarang!

Kali ketiga masuk Monas adalah sebelum saya berangkat ke Belanda, tapi belum dapat beasiswa ke Belanda, bersama beberapa calon teman satu lab di Tokodai 🙂

Waktu itu, saya sudah dapat beasiswa ke Jepang, bisa lanjut sampai S3 malah. Dalam suatu kesempatan, calon profesor saya kebetulan berkunjung ke Jakarta. Kami, calon bimbingannya, mengajak beliau ke Monas, untuk melihat bagaimana perjuangan Indonesia menghadapi penjajah, termasuk Jepang, hehe.

Sekarang, Monas bisa dijadikan pilihan spot aktivitas pada saat Car Free Day Jakarta. Banyak yang bisa dilakukan di sini, antara lain makan di foodcourt, belanja di pasar kaget, jogging, sepedaan, naik kereta wisata, baca buku di perpustakaan keliling, dll.
.
Pedagang asongan sepertinya tidak diijinkan lagi masuk ke dalam area taman. Namun, pengunjung diperbolehkan makan bekal yang mereka bawa dari luar.
.
InsyaAllah kapan-kapan semoga bisa naik lagi ke atas puncak.

#latepost

Menyusuri Glodok dan sekitarnya


Menjelajahi daerah Batavia lama seolah tak ada habisnya, termasuk kawasan Glodok.

Daerah Molenvliet (sekarang Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk) dulunya punya banyak kincir air yang berbunyi seperti “glodok..glodok…”. Dari sinilah asal nama Glodok bermula. Konon begitu…

Ada beberapa spot menarik untuk dikunjungi. Pertama, ada Gedung Candra Naya, yg sekarang diapit Hotel Novotel, apartemen dan pusat perbelanjaan. Dulunya, gedung ini bisa dikatakan pusat kegiatan komunitas Tionghoa pada zaman kolonial Belanda.

Lalu ada Pasar Petak Sembilan, Kelenteng Kim Tek Ie yg sudah berdiri sejak 1650, Kelenteng Toa Se Bio, dan Gereja Katholik Santa Maria de Fatima yg berarsitektur unik.

Wisata kuliner bisa dilakukan di Jalan (Gang?) Kalimati dan Gang Gloria yang menjual makanan yg tak ditemukan di pasar kebanyakan, seperti siomay sekba dan kaki kodok goreng tepung 😉. Bapak dan Ibu penjual makanan juga tak masalah jika barang dagangannya hanya difoto-foto saja 😁.

Ada juga Gado-gado Direksi di Pujasera Gloria yg terlihat sederhana namun berharga premium 😎.

Dan jangan lupa mampir di Pantjoran Tea House untuk mendapat suguhan teh secara cuma-cuma.

Berapa biaya yg dikeluarkan untuk jalan-jalan ini? NOL rupiah, selain beli-beli makanan dan minum tentunya. Murah meriah tapi menambah wawasan.

Terima kasih, Jakarta Good Guide!

@Desember 2017