2018: Children of Sumba


The majority of these children don’t have any ‘hands-on’ experience with gadget, literally. How would they? Even their parents don’t have access to electricity, let alone internet connection.

On daily basis, these children are busy with school (if they are lucky enough to get enrolled), ride horses, weave tenun ikat, or simply stroll around the villages.

They get excited to see the tourist, or strangers in general. They will take their time to wavw their hands and say hello to the passerby cars, with bright smiles on their lips. But once you seem approaching them while in the forest or a bit deserted area, they will run away as soon as possible because they then think that you might be an organ theft, someone they are scared of, haha. Of course, it is their parents’ trick so that they don’t go too far from their village.

Expat Bubble


Pagi ini saya membaca postingan dari akun instagram Passion Passport @passionpassport mengenai ‘expat bubble’. Menurut penulisnya,

an expat bubble is the place where people wind up when they move to a foreign country without making any effort to immerse in the culture of their host country. The so-called bubble has varying degrees and sizes. For example, it can look like only socializing with other expats, only shopping at supermarkets which serve the food of their native country, not learning at least a portion of the native language and so on.

@passionpassport

Saya jadi ingat masa-masa sekolah, tinggal dan bekerja di luar negeri dulu. Untuk makanan, saya tidak bisa lepas dari makanan Indonesia, terutama masakan Minang.

Saya pernah bergaul sangat intens hanya dengan orang-orang Indonesia dan pernah juga secara aktif ikut perkumpulan orang Minang, haha. Pada masa-masa bekerja di Belanda, saya lebih cepat relate dengan sesama orang Asia, terutama yang beragama Islam.

Tentang bahasa, saya belajar bahasa Belanda, baik sewaktu masih kuliah di TU Delft dan waktu kerja, yang menjadi bagian dari self-development yang tentunya dibayari kantor.

Ah, ternyata, sedikit banyak, saya pun mengalami expat bubble. Penyebabnya? Mungkin karena saya butuh dikelilingi oleh orang-orang yang menerima saya, dan tentunya orang-orang yang berlatar belakang mirip lebih memudahkan untuk itu. Tidak terlalu ada cultural shock. Mungkin inilah yang membuat kantor saya mengadakan program D&I, diversity & inclusion, yang bertujuan untuk membuat para karyawan yang berbeda belakang ini menjadi lebih membaur. Saya selalu mengikuti acaranya yang kurang lebih untuk mengenal satu sama lain dan sama-sama berjuang mengenal budaya Belanda. Ah, kangen sekali masa-masa itu.

Mmm, tapi belum genap 2 minggu bekerja di Shell dulu, saya udah hang-out sama maintenance boys buat ice-skating di Den Haag. Ini juga termasuk nebeng di mobil salah satu kolega cowok dan sempat main dulu ke rumahnya yang semerbak bau bir. Saya belum terlalu kenal dengan mereka. Persamaan kami adalah kami bekerja di kantor yang sama dan sama-sama alumni TU Delft. Intinya, ada something in common. Mungkin boleh juga disebut alumni bubblegeng-gengan dengan orang-orang sesama almamater universitas yang sama, hehe.Nah, mungkin ini mirip-mirip dengan expat bubble. Bedanya, expat bubble lebih ke budaya dan apapun yang berhubungan dengan negara asal.

Kalau dipikir-pikir, sewaktu di Bandung dulu, saya juga lebih cepat akrab dan cenderung lebih percaya ke sesama anak UKM, hehe. Kalo ini, mungkin bisa disebut perantau bubble, hehe.

PS. I miss WP’s old editor form 😛

2020, The Extraordinary Year


First time since 2006, I do not go anywhere for overseas and even domestic travel – going home to Padang is excluded, of course! During this time, travel is the last thing that comes to my mind, considering how the virus spread. I believe, the best tip to travel during this pandemic situation is to have no travel at all.

Some people still choose to travel. That’s their choice at their own risk and consequences. For me, if I cannot be part of the solution, I will not be part of the problem, at least.

What about 2021? I still have no plans for personal travel, but I already have some business trips lining up. Insya Allah, if situation allows me to go, I will step my feet on a new country since Iran and Oman in 2016!

Can’t wait. Corona, go away!

Pengalaman Memesan Wheel Chair Assistance – Garuda Indonesia


Sebulan lalu, Tante saya mengunjungi saya selama beberapa hari di Jakarta. Setelah beberapa hari yang menyenangkan di Jakarta, beliau mengatakan harus kembali di Padang. Masih banyak yang harus diurus di Padang, kata beliau. Dengan berat hati, saya pun memesankan tiket pulang ke Padang untuk beliau.

Ibu – begitu saya memanggil beliau – akan melakukan perjalanan seorang diri dari CGK ke PDG. Dan itu akan jadi solo trip beliau yang pertama dengan pesawat terbang. Ibu seringkali solo trip ke Jambi dengan bus travel untuk mengunjungi anaknya di kota Jambi. Tapi untuk pesawat, ini akan menjadi kali yang pertama.

Saya sendiri agak khawatir melepas Ibu sendirian. Tapi apa daya, keadaan saya waktu itu belum memungkinkan untuk bepergian dengan pesawat terbang, supaya bisa mengantar beliau sampai ke rumah. Dan sebenarnya, ada dua hal yang saya khawatirkan. Pertama, kaki Ibu tidak terlalu kuat berjalan jauh. Penerbangan ke Padang dari Terminal 3U Soetta seringkali melalui Gate 20-an, dan itu jauh sekali. Saya takut Ibu kelelahan. Kedua, Terminal 3U Soetta cukup besar. Saya takut Ibu kesasar. Walaupun Ibu lebih percaya pada dirinya, saya tetap mencari cara sehingga Ibu sampai ke seat-nya dengan selamat.

Continue reading

Pengalaman Toilet di Mancanegara


May your life be like toilet paper, long and useful 🙂 (unknown)

Toilet adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Untuk menjaga keseimbangan massa dan energi di dalam tubuh kita, kita harus mengeluarkan gas (berupa kentut atau sendawa), liquid (berupa pipis) dan bahan semi-solid (aka pup). Hehe, chemical engineer loh ini yang punya blog 😊

Saat traveling, toilet adalah salah satu item yang membuat saya harap-harap cemas, takut dapat yang kotor dan membuat selera makan hilang berhari-hari. Maklum, saya orangnya jijik-an luar biasa. Jangankan melihat output defekasi manusia yang asli, melihat gambar yang menjijikkan pun saya bisa mual sendiri. Dan jangankan melihat yang asli ataupun gambar, membayangkan saja pun bisa mual. Makanya saya tak suka ada pembicaraan yang mengarah ke toilet jika sedang makan, karena pikiran saya langsung menggembara kemana-mana 😛 Kata temen psikolog, saya punya daya imajinasi multicolor. Apapun itu, it is a blessing and a curse 😊

Continue reading