Pengalaman Ojek Online


Sebenarnya, saya dulu bukan penggemar ojek. Pertama, karena tarif ojek tidak pernah jelas dan suka-suka si pengendara saja. Kedua, tidak terlalu aman. Pengendara ojek seringkali tidak bisa diberi pemahaman tentang keselamatan di jalan raya.

Biasanya mereka berkilah, “Kalau gitu nggak sampai-sampai, Mbak. Habis waktu saya. Saya masih butuh cari lagi setelah ini.” Alasan yang bisa dimengerti tapi tentu saja bertentangan dengan standar keselamatan yang saya punya. Alhasil, saya jadi lebih senang naik si burung biru 😃.

Seiring dengan populernya ojek online di Indonesia. Saya pun penasaran. Ongkosnya sangat murah dan konon pelayanannya lebih bagus. Saya pun mencoba dan saya suka. Karena ongkos transportasi saya bisa berkurang 60% dan ternyata si abang ojek sangat bisa diajak berkompromi. Saya selalu bilang kepada mereka, “Kita hati-hati dan ikut rambu lalu lintas saja ya”. Mereka menyanggupi dan jadilah sekarang saya pemakai setia mereka. Untuk jarak yang lebih dari 5 km, saya masih lebih suka taksi atau layanan taksi online.

Yang saya amati, ada 3 perusahaan ojek online yang sangat merajai Indonesia. Gojek, Grab dan Uber. Saya adalah memakai setia Gojek karena fiturnya lebih lengkap. Sesekali saya mencoba GrabBike, dan satu kali karena kesalahpahaman, saya menaiki Uber (diceritakan lebih lengkap di bawah).

Saya juga sudah memakai fitur GoPay karena lebih efisien. Saya pun bisa dapat diskon, dan semoga saja ini tidak mengurangi pendapatan driver-nya.

Dari semua trip yang saya ambil dengan ojek online, ada beberapa pengalaman yang cukup berkesan.

Ketua Opang 

Saya memesan ojek online untuk menuju kantor saya yang berjarak 2 km dari tempat tinggal. Tak lama kemudian, datanglah seorang driver menuju ke arah saya. Tapi dia melawan arus kendaraan. Saya tak suka ini dan menekankan ke Bapak bahwa saya hanya ingin mengikuti arus lalu lintas yang benar saja.

Di tengah perjalanan, dia bercerita bahwa dia adalah ketua opang di sekitar tempat tadi. Katanya, dia juga sering membantu polisi untuk menjebak orang yang melakukan pelanggaran. Dia juga bilang betapa dia ditakuti orang-orang di daerah itu, termasuk polisi. Saya hanya mengiyakan saja. Ugh..

Arah yang saya lalui mengharuskan kami putar balik dulu di salah satu U-turn, tapi sebelumnya juga ada U-turn lain yang digunakan untuk putar balik ke arah yang berlawanan. Dia hendak menggunakan itu. Saya menolak. Akhirnya dia mengalah dan mengatakan bahwa dia hanya ingin menguji pengetahuan saya. Terus terang, saya agak malas dengan ‘drama’-nya ini, hehe. Alhamdulillah sampai juga dengan selamat.

Sarjana Ekonomi

Satu kali saya mendapat panggilan dari driver ojek yang baru saja saya pesan. Artikulasi pembicaraannya sangat bagus bahkan terdengar seperti pegawai kantoran. Setelah sampai, pengemudi setengah baya ini menawarkan masker dan helm. Penampilannya agak berbeda dengan pengemudi lain, terlihat lebih rapi. Orangnya tidak kepo dan cukup mengerti tentang keselamatan jalan raya tanpa diberi tahu. Setelah saya sampai dan memberi rating, saya baru sadar bahwa di belakang namanya tertera “SE”. Asumsi saya, dia sarjana ekonomi yang mungkin saja kehilangan pekerjaan di tengah badai PHK ini. Beberapa mantan kolega saya juga menjadi driver taksi online sembari mencari pekerjaan tetap lagi. Yah, inilah yang namanya rejeki. Bisa datang bisa pergi kapanpun sesuai keinginan Sang Maha Pemberi.

Terlalu Kepo

Suatu sore, saya memesan ojek online dari sebuah mall menuju rumah. Si pengemudi sangat ramah. Menawarkan masker dan memastikan bahwa saya sudah siap sebelum dia menjalankan motornya. Di tengah perjalanan, si pengemudi mulai menunjukkan bubbly personality-nya dengan bercerita tentang banyak hal. Tapi dia juga mulai menanyakan bermacam-macam hal kepada saya, mulai dari tempat kerja saya, jabatan saya, daerah asal saya, umur anak saya dan juga pekerjaan suami saya :D. Mendekati rumah, si pengemudi juga menanyakan harga rumah saya, dan apakah saya membayar secara cash atau KPR. Dia juga mengatakan betapa dia juga ingin tinggal di tempat seperti itu dan tentu saja saya langsung mengaminkan.

Saya menjawab semua pertanyaannya karena saya tak mau jutek dengan perfect stranger. Tapi teman-teman yang sudah mengenal saya tentu saja akan tahu bahwa saya tak pernah jujur menjawab pernyataan-pertanyaan seperti itu, haha. Saya sangat paham bahwa batas-batas privacy tak terlalu dikenal di Indonesia. Untuk itu, saya punya alter-ego untuk menghadapi pertanyaan dari orang-orang yang tak dikenal. Ini juga berlaku untuk traveling, saya memang tak pernah terbuka kepada orang yang baru dikenal.

Naik Motor Tinggi

Biasanya, pengemudi ojek online menggunakan motor bebek. Tapi satu kali, yang datang adalah motor tinggi, dan tempat duduk penumpangnya lebih tinggi daripada si pengemudi. Harusnya, motor seperti itu lebih cocok untuk membonceng pasangan, bukan penumpang. Terus terang, saya agak risih naik motor seperti itu. Tapi karena kasihan sama si pengemudi, akhirnya saya naiki juga setelah meminta si pengemudi menaroh tas ranselnya di punggungnya. Saya hanya membawa tas kecil ketika itu.

Sadar Safety

Satu kali sebelum membonceng, si pengemudi meminta saya untuk menaruh tas saya di tengah-tengah. Katanya, takut dijambret di tengah jalan oleh pembawa motor lain.

“Tas bisa dibeli lagi, Mbak. Kalau Mbaknya kenapa-kenapa, gimana?”, tambahnya.

Saya sangat menghargai itu. Saya pun memberi Bintang 5, kata-kata apresiasi dan menambah tips sewaktu memberi rating.

Naik Gratis

Ini terjadi sewaktu saya belum memakai GoPay dan harus membayar cash. Pagi-pagi, saya memesan Gojek untuk menuju kantor. Sesampai di kantor, saya pun membayar kepada driver. Si pengemudi menolak karena menurutnya trip ini terlalu singkat. Dia hanya minta diberi Bintang 5 dan langsung melaju pergi. Alhamdulillah, semoga si pengemudi senantiasa dilimpahi rizki yang berkah…

Orang-orang Jujur

Suatu siang, setelah menyelesaikan urusan saya di bank, saya memesan Gojek untuk kembali ke kantor. Si pengemudi mengatakan bahwa dia akan sampai ke tempat saya paling lama sekitar 3 menit lagi karena harus memutar dulu.

Setelah menunggu beberapa lama (saya lupa sampai berapa menitnya), seorang pengemudi menegur saya dan menanyakan apakah saya memesan ojek online. Saya menyebutkan nama saya untuk mengkonfirmasi apakah dia driver saya. Dia mengiyakan. Plat nomor kendaraannya berbeda dengan yang tertera di aplikasi, tapi hal ini sudah lumrah terjadi. Tapi saya tetap menanyakannya. Si driver tidak menjawab, dan saya juga tak mempermasalahkannya lagi.

Sesampai di kantor, saya bilang kepada driver bahwa saya membayar lewat GoPay, tapi kemudian si driver mengatakan bahwa dia pengemudi Uber! What?? Tapi tadi kan dia mengiyakan sewaktu saya menyebutkan nama saya. Dan jelas-jelas, nama penumpang dia yang seharusnya sangat terdengar berbeda dari nama saya.

Seketika, saya juga mendapat panggilan yang ternyata dari driver GoJek saya. Saya pun menjelaskan kepada driver GoJek bahwa ada sedikit salah paham sehingga saya sudah diantarkan oleh driver lain sampai di tujuan. Saya mengatakan padanya bahwa saya akan tetap membayar trip saya. Dia juga mengatakan bahwa dia akan menyelesaikan tripnya.

Saya tetap membayar trip saya kepada driver Uber. Dia menolaknya berkali-kali karena menurutnya ini kesalahan dia. Akhirnya diterima juga setelah saya paksa 😊

Sesampai di kantor, saya langsung shalat. Setelah shalat, saya membuka aplikasi GoJek. Ternyata driver GoJek sudah menyelesaikan tripnya sehingga saya bisa memberi rating. Saya memberi Bintang 5 dan memberi pernyataan bahwa si driver adalah orang yang jujur di kolom komentar tambahan.

Lalu saya membuka WA dan ternyata saya juga mendapat pesan dari si driver GoJek. Dia mengatakan bahwa dia sudah mentransfer balik saldo GoPay saya sebanyak Rp 5000. Katanya, saya tak usah membayar karena saya kan memang tak menggunakan jasanya. Biaya trip saya yang seharusnya hanyalah Rp 2000. Jadi, saya mendapat ‘surplus’ sebesar Rp 3000, dan saya mendapatkannya dari driver GoJek ini…

Saya mengirim pesan WA kepada si driver GoJek dan menjelaskan semuanya. Dia hanya berkata bahwa itu bukan rizkinya. Saya lalu mendoakan agar rizkinya selalu lancar dan dia pun membalas dengan doa yang lebih panjang lagi. Jujur, mata saya basah karena terharu ketika itu. Akhirnya, kelebihan Rp 3000 saya infaq-kan.

Masya Allah!

Di tengah hangatnya berita tentang korupsi sana-sini, kejujuran driver GoJek ini menunjukkan bahwa Indonesia masih punya harapan (lebay, hehe).

Menjadi driver ojek, saya yakini, bukan menjadi pekerjaan impian kebanyakan orang. Tapi hidup perlu uang, dan kadang-kadang, apapun harus dijalani selama itu halal.

Menjadi driver ojek bukanlah pekerjaan yang gampang. Ada risiko kecelakaan, bentrok dengan opang, diomeli pelanggan, belum lagi sakit karena cuaca yang tak menentu. Pun begitu, penghasilannya masih harus dibagi dengan perusahaan pemilik aplikasi.

Driver ojek rela berpanas-panas dan berhujan-hujan mengumpulkan ribuan rupiah saja, bukan jutaan, bukan milyaran, dan yang membuat saya takjub, masih ada yang sanggup menjaga integritasnya. Ternyata, tak semua orang yang mata dan hatinya tertutup oleh uang. Dan integritas, sebenarnya bisa dimiliki oleh siapapun, terlepas dari latar belakang pribadi dan tingkat pendidikan. Semoga orang-orang seperti itu selalu dilimpahi kesabaran dan rizki yang luas.

Sekarang, saya mencoba menahan diri jika ada driver ojek yang tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Kalau sekadar tak bawa masker, tak tahu jalan, terlambat datang, dan helm bau akan saya toleransi. Kalau ada yang ngebut, saya akan bilang kalau saya takut ngebut. Kalau yang tidak sopan tentu tak ada toleransi. Kalau ada yang kurang ramah, yah mungkin mereka sedang menjalani hari yang buruk…

7 thoughts on “Pengalaman Ojek Online

  1. Saya terkesan dengan cerita yang mbak tuliskan..
    Sebagai driver, saya sendiri juga akan mengapresiasi customer yang sangat peduli pada kami seperti mbaknya,
    Tidak semena-mena dan tidak menganggap pekerjaan kami sebagai pekerjaan sampah adalah hal yang kami butuhkan
    terima kasih telah menggunakan jasa kami

    Like

Leave a comment